Postingan

Pelan-pelan saja, Aku masih bertahan.

Gambar
Hari ini aku bangun seperti biasa. Menyapa pagi, menyeduh secangkir teh, lalu menghadapi rutinitas yang entah kenapa... terasa berat lagi. Aku bukan ibu yang sempurna. Bukan istri yang selalu sabar. Tapi aku adalah perempuan yang sedang belajar — belajar menjadi kuat saat tak ada pundak yang bisa diandalkan, belajar tersenyum di depan anak-anak meski hati sedang gaduh. Kadang aku lelah, bukan karena tak sanggup, tapi karena merasa berjuang sendiri dalam sebuah hubungan yang katanya "berdua". Aku sudah banyak mengalah, sudah sering diam walau ingin bicara, sudah mencoba sabar meski tak dihargai, sudah memberi ruang berkali-kali... tapi tak pernah diisi. Bukan, aku bukan ingin menyerah. Aku cuma ingin dimengerti. Aku juga manusia. Aku butuh rasa aman. Butuh kejelasan arah. Butuh seseorang yang mau berjuang, bukan hanya berkata "lagi usaha" tanpa tindakan. Tapi hari ini… aku ingin pelan-pelan saja. Pelan-pelan menerima kenyataan, pelan-pelan melepaskan eksp...

"Menjadi Ibu, Menjadi Istri, Menjadi Aku — Ketika Semua Peran Butuh Tenaga”

Gambar
Hari ini… tubuh terasa berat. Bukan hanya karena kurang tidur atau kondisi yang kurang sehat, tapi karena pikiran yg penuh. Penuh dengan tanggung jawab, pertanyaan, harapan, dan diam-diam... kelelahan yang tak sempat ditunjukkan. Kadang berpikir, "Bisakah berhenti bekerja sejenak?" "Bisakah di rumah, fokus menjadi ibu tanpa harus memikirkan pekerjaan kantor atau tekanan dari luar?" Tapi belum bisa. Karena hidup masih terus menuntut, dan masih ada tanggungan yang harus dipenuhi. Bukan karena tak ingin menjadi ibu rumah tangga. Tapi karena sekarang, bertahan di pekerjaan adalah satu-satunya cara menjaga atap tetap ada di atas kepala kami. --- Terkadang iri pada orang-orang yang bisa memilih diam di rumah dengan tenang. Kadang lelah menjadi perempuan yang harus tersenyum walau hatinya sedang jatuh. Tapi percaya Allah melihat semuanya. Allah tahu yang sedang di ikhtiar kan. Allah tahu semua ini bukan untuk menyerah— hanya butuh jeda. Dan hari ini… Aku ingin ...

Aku Berkarir, Bukan Karena Tak Ingin di Rumah.

Gambar
Menjadi istri sekaligus ibu bukan hal yang mudah. Tapi ketika realita menuntut lebih dari sekadar peran, aku pun berkarir. Bukan karena aku tak ingin di rumah… tapi karena aku ingin rumah ini tetap hidup. Setiap hari, aku berangkat bekerja. Bukan karena aku mengejar karier. Bukan karena aku ingin bersaing atau sibuk di luar rumah. Tapi karena aku tahu, ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Aku tak menuntut banyak dari suamiku. Aku hanya ingin dia bisa lebih semangat, lebih maksimal dalam usahanya. Agar satu saat nanti… aku bisa kembali fokus di rumah, menemani tumbuh kembang anak-anak dengan tenang. Banyak orang melihat aku sebagai ibu bekerja, mungkin terlihat kuat. Padahal… di balik senyum itu, kadang aku ingin menangis. Menangis karena capek. Karena ingin menyerah. Tapi tak bisa. Tapi satu hal yang membuatku tetap bertahan adalah doa. Aku percaya, selama aku terus berdoa, terus berusaha, Allah tidak akan tutup mata. Allah tahu perjuanganku. Untuk para ibu di luar sana yang ...

Bukan Egois, Tapi Aku Ingin Selamat.

Gambar
Hari ini… rasanya seperti titik akhir dari semua perjuangan panjang. Aku tidak sedang marah. Aku tidak ingin membalas. Aku hanya… lelah. Dan hari ini, aku memutuskan untuk menyerah — bukan karena aku tak kuat, tapi karena aku tahu… aku tidak harus terus terluka. Aku sudah bertahan 13 tahun lamanya. Dengan hati yang berharap, dengan doa yang terus kupanjatkan. Kupikir... selama aku sabar, semuanya akan berubah. Kupikir... selama aku bertahan, rumah ini akan jadi tempat yang lebih baik. Tapi kenyataannya, masalah yang sama terus berputar. Seperti lingkaran yang tak pernah selesai. Karena kami berjalan, tapi tidak dalam arah yang sama. Aku tahu, banyak yang mungkin akan berkata, "Kenapa menyerah setelah sejauh ini?" "Kenapa nggak sabar lagi sedikit?" Tapi mereka tidak tahu betapa lama aku menunggu. Menunggu satu misi yang sama. Satu pemahaman yang utuh. Tapi yang datang hanya “iya iya” tanpa tindakan. Rasanya sedih, tapi tidak bisa menangis. Sakit… tapi tak...

Belajar menjadi orang tua tanpa sekolah.

Gambar
Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Tidak ada kurikulum, tidak ada ujian tertulis. Tapi setiap hari adalah ujian—tentang sabar, cinta, dan keikhlasan. Hari ini, Bunny merasa lebih tenang. Bukan karena semuanya sempurna, tapi karena aku sedang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan dengan hati yang lapang. Menjadi ibu berarti bangun lebih awal, tidur paling akhir. Menjadi ibu berarti tetap tersenyum meski hati kadang remuk. Menjadi ibu juga berarti… kadang harus diam saat ingin marah, dan menangis pelan saat semua orang tidur. Tapi dari semua rasa lelah itu, aku belajar satu hal penting: Kalau kita bisa mengubah keluh menjadi syukur, maka pelan-pelan Allah akan bantu ubah keadaan. Anak-anak memang bisa bikin kesal. Ada saja tingkah mereka yang bikin jengkel. Tapi aku sadar... mereka bukan sedang “menguji” aku. Mereka sedang tumbuh, belajar, dan butuh aku sebagai pendamping yang sabar—meski aku sendiri masih banyak kurang. Aku bukan ibu yang sempurna. Hatiku pun kada...

Aku Bukan Wanita Sempurna, Tapi Aku Masih Punya Allah.

Gambar
Aku bukan wanita yang sempurna. Terkadang Imanku naik turun. Hati ini masih sering marah, takut, bahkan kecewa. Tapi di tengah semua kekuranganku… aku tahu ke mana aku harus kembali. Saat hidup ini terlalu berat, aku bersujud, meneteskan airmata saat aku tertunduk pada sang Pencipta.  Kadang pelan, kadang gemetar, tapi aku percaya: Allah pasti akan dengar. Mungkin aku tidak selalu pantas meminta, Tapi aku tahu, Allah selalu pantas untuk diandalkan. Jadi meski aku sedang belajar pelan-pelan, Meski masih sering overthinking, Aku percaya… Allah tidak menunggu aku sempurna, Dia hanya ingin aku terus kembali, karena pada akhirnya yang aku miliki di dunia ini pun akan kembali padaNya. 

Doa Seorang Istri Yang Tidak Pernah Padam.

Aku nggak butuh dunia yang sempurna. Aku cuma ingin merasa tidak sendirian dalam memperjuangkan rumah tangga ini. Suamiku bukan laki-laki romantis. Dia tidak pandai mengungkapkan rasa. Tapi akhir-akhir ini, dia mulai mau mendengar. Itu saja sudah membuatku lega. Biasanya dia pulang dini hari, membawa lelah dan diam. Tapi setelah aku bicara dengan perlahan—bukan marah, bukan menyudutkan, hanya mengajak memahami—dia mulai berubah sedikit demi sedikit. Sekarang, dia pulang lebih awal. Kadang jam 10, paling lambat jam 12 malam. Bahkan sesekali pulang siang sebentar untuk rehat. Dan meski mungkin dia belum bisa memberi semuanya, tapi dia mulai mau hadir. Itu bukan akhir dari perjuangan kami. Tapi setidaknya… untuk hari ini, aku tidak merasa sendiri.